Hubungan antara Australia dan Indonesia telah memburuk dalam beberapa
pekan ini setelah terungkap bahwa mata-mata Australia menyadap telepon Presiden
Indonesia dan beberapa pejabat tinggi lainnya. Namun, ketegangan itu mencair
pekan ini dengan sejumlah kegiatan diplomatik.
Rangkaian peristiwa itu mempengaruhi kerjasama soal para pencari suaka, perdagangan, militer dan isu-isu lain.
Beberapa dokumen menunjukkan bahwa Australia telah memata-matai Presiden Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono, ibu negara Ani Yudhoyono dan beberapa menteri senior. Skandal itu memicu Jakarta untuk membekukan kerjasama militer dan kerjasama-kerjasama lain, termasuk upaya memerangi kelompok yang memanfaatkan para pencari suaka untuk memasuki perairan Australia Utara.
Dalam surat yang ditujukan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Perdana Menteri Australia Tony Abbott dilaporkan menjanjikan untuk memulihkan hubungan yang rusak ini.
Surat Tony Abbot belum diungkapkan ke publik, tetapi SBY – panggilan akrab presiden Indonesia itu – mengatakan surat itu merupakan upaya untuk meredam kontroversi mata-mata itu.
“Komitmen Perdana Menteri Australia adalah di masa depan Australia tidak akan pernah melakukan apapun yang akan merugikan dan mengganggu Indonesia,” kata Presiden Yudhoyono.
Presiden SBY mengatakan kedua negara kini akan menyusun sebuah tata prilaku untuk memastikan kembali agar hubungan kedua negara tidak akan dikacaukan dengan cara-cara semacam ini lagi.
Yudhoyono menambahkan, “Saya akan menugaskan Menteri Luar Negeri atau seorang utusan khusus untuk membahas lebih jauh isu-isu sensitif secara lebih serius, termasuk hubungan bilateral antara Indonesia dan Australia pasca kasus penyadapan ini. Bagi saya ini merupakan persyaratan dan batu loncatan”.
Belum diketahui apakah Perdana Menteri Australia Tony Abbot sudah minta maaf kepada Indonesia. Penolakan Tony Abbot sebelumnya untuk menjelaskan mengapa Australia menyadap telepon beberapa pejabat senior Indonesia itu telah menimbulkan kemarahan. Beberapa kelompok nasionalis menggelar demonstrasi di luar Kedutaan Besar Australia di Jakarta.
Perdana Menteri Tony Abbot menyambut baik upaya Indonesia untuk mengatasi persoalan. Ia mengatakan, “Apa yang diusulkan Presiden SBY adalah utusan khusus yang dipercaya mengadakan pertemuan dalam beberapa hari ini untuk menyelesaikan isu apapun yang masih mengganjal dalam hubungan kedua negara. Saya kira ini cara yang baik ke depan dan saya akan mewujudkannya dalam pernyataan beberapa hari mendatang dan kemudian kita bisa menanggapinya secara lebih menyeluruh.”
Sebelum tata perilaku baru itu dirumuskan, kerjasama bilateral dalam bidang inteljen dan penyelundupan manusia akan tetap dibekukan.
Tony Abbot berharap kontroversi ini akan segera berakhir.
"Jelas saya ingin (masalah) ini diselesaikan secepatnya. Saya ingin diselesaikan seteguh dan untuk selamanya. Pekan ini benar-benar menegangkan. Dalam semua hubungan tetap ada masalah," jelas Abbott.
Meskipun Australia berupaya meredakan ketegangan dengan Indonesia, tetap ada keprihatinan bahwa perdagangan kedua negara mungkin dirugikan akibat skandal mata-mata ini.
Brian Scott, Wakil CEO Sementara Asosiasi Eksportir Ternak Northern Territory Livestock Exporters Association di Australia mengatakan kontroversi itu mengkhawatirkan industri ternak Australia.
“Kita semua akan menjadi sangat naïf jika mengira negara-negara berdaulat tidak mengumpulkan informasi tentang satu sama lain. Namun demikian industri ternak kami yang paling signifikan adalah dengan Indonesia,” ujar Scott.
Perdagangan antara kedua negara di Asia Pasifik ini bernilai sekitar 11 milyar dollar setiap tahun. Para analis yakin skandal penyadapan telepon dapat mengganggu hubungan perdagangan.
Tim Harcourt dari Sekolah Bisnis Australia di Universitas New South Wales mengatakan ketidakpercayaan jangka pendek ini akan mempengaruhi harmonisasi dalam jangka waktu yang lebih panjang.
“Saya kira yang terutama Indonesia ingin adanya ketahanan pangan, layanan keuangan, teknologi dan akses pada institusi-institusi pendidikan Australia. Jadi dalam jangka panjang, mereka ingin adanya hubungan mantap yang baik dengan Australia. Tetapi mereka saat ini sedikit enggan untuk memiliki perjanjian investasi bilateral atau perjanjian perdagangan apapun," papar Harcourt.
Kontroversi mata-mata itu merupakan ancaman paling serius bagi hubungan bilateral kedua negara sejak Australia mendukung pemisahan Timor Timur dari Indonesia pada tahun 1999. Beberapa pakar mengatakan kerjasama militer dan upaya-upaya bersama untuk membendung arus pencari suaka yang bertolak dari Indonesia dengan menggunakan kapal menuju ke Australia, bisa dipulihkan kembali dalam waktu satu atau dua bulan.
Rangkaian peristiwa itu mempengaruhi kerjasama soal para pencari suaka, perdagangan, militer dan isu-isu lain.
Beberapa dokumen menunjukkan bahwa Australia telah memata-matai Presiden Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono, ibu negara Ani Yudhoyono dan beberapa menteri senior. Skandal itu memicu Jakarta untuk membekukan kerjasama militer dan kerjasama-kerjasama lain, termasuk upaya memerangi kelompok yang memanfaatkan para pencari suaka untuk memasuki perairan Australia Utara.
Dalam surat yang ditujukan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Perdana Menteri Australia Tony Abbott dilaporkan menjanjikan untuk memulihkan hubungan yang rusak ini.
Surat Tony Abbot belum diungkapkan ke publik, tetapi SBY – panggilan akrab presiden Indonesia itu – mengatakan surat itu merupakan upaya untuk meredam kontroversi mata-mata itu.
“Komitmen Perdana Menteri Australia adalah di masa depan Australia tidak akan pernah melakukan apapun yang akan merugikan dan mengganggu Indonesia,” kata Presiden Yudhoyono.
Presiden SBY mengatakan kedua negara kini akan menyusun sebuah tata prilaku untuk memastikan kembali agar hubungan kedua negara tidak akan dikacaukan dengan cara-cara semacam ini lagi.
Yudhoyono menambahkan, “Saya akan menugaskan Menteri Luar Negeri atau seorang utusan khusus untuk membahas lebih jauh isu-isu sensitif secara lebih serius, termasuk hubungan bilateral antara Indonesia dan Australia pasca kasus penyadapan ini. Bagi saya ini merupakan persyaratan dan batu loncatan”.
Belum diketahui apakah Perdana Menteri Australia Tony Abbot sudah minta maaf kepada Indonesia. Penolakan Tony Abbot sebelumnya untuk menjelaskan mengapa Australia menyadap telepon beberapa pejabat senior Indonesia itu telah menimbulkan kemarahan. Beberapa kelompok nasionalis menggelar demonstrasi di luar Kedutaan Besar Australia di Jakarta.
Perdana Menteri Tony Abbot menyambut baik upaya Indonesia untuk mengatasi persoalan. Ia mengatakan, “Apa yang diusulkan Presiden SBY adalah utusan khusus yang dipercaya mengadakan pertemuan dalam beberapa hari ini untuk menyelesaikan isu apapun yang masih mengganjal dalam hubungan kedua negara. Saya kira ini cara yang baik ke depan dan saya akan mewujudkannya dalam pernyataan beberapa hari mendatang dan kemudian kita bisa menanggapinya secara lebih menyeluruh.”
Sebelum tata perilaku baru itu dirumuskan, kerjasama bilateral dalam bidang inteljen dan penyelundupan manusia akan tetap dibekukan.
Tony Abbot berharap kontroversi ini akan segera berakhir.
"Jelas saya ingin (masalah) ini diselesaikan secepatnya. Saya ingin diselesaikan seteguh dan untuk selamanya. Pekan ini benar-benar menegangkan. Dalam semua hubungan tetap ada masalah," jelas Abbott.
Meskipun Australia berupaya meredakan ketegangan dengan Indonesia, tetap ada keprihatinan bahwa perdagangan kedua negara mungkin dirugikan akibat skandal mata-mata ini.
Brian Scott, Wakil CEO Sementara Asosiasi Eksportir Ternak Northern Territory Livestock Exporters Association di Australia mengatakan kontroversi itu mengkhawatirkan industri ternak Australia.
“Kita semua akan menjadi sangat naïf jika mengira negara-negara berdaulat tidak mengumpulkan informasi tentang satu sama lain. Namun demikian industri ternak kami yang paling signifikan adalah dengan Indonesia,” ujar Scott.
Perdagangan antara kedua negara di Asia Pasifik ini bernilai sekitar 11 milyar dollar setiap tahun. Para analis yakin skandal penyadapan telepon dapat mengganggu hubungan perdagangan.
Tim Harcourt dari Sekolah Bisnis Australia di Universitas New South Wales mengatakan ketidakpercayaan jangka pendek ini akan mempengaruhi harmonisasi dalam jangka waktu yang lebih panjang.
“Saya kira yang terutama Indonesia ingin adanya ketahanan pangan, layanan keuangan, teknologi dan akses pada institusi-institusi pendidikan Australia. Jadi dalam jangka panjang, mereka ingin adanya hubungan mantap yang baik dengan Australia. Tetapi mereka saat ini sedikit enggan untuk memiliki perjanjian investasi bilateral atau perjanjian perdagangan apapun," papar Harcourt.
Kontroversi mata-mata itu merupakan ancaman paling serius bagi hubungan bilateral kedua negara sejak Australia mendukung pemisahan Timor Timur dari Indonesia pada tahun 1999. Beberapa pakar mengatakan kerjasama militer dan upaya-upaya bersama untuk membendung arus pencari suaka yang bertolak dari Indonesia dengan menggunakan kapal menuju ke Australia, bisa dipulihkan kembali dalam waktu satu atau dua bulan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar